PENGERTIAN PENIDIKAN Pendidikan menurut Undang-undang No. 20 Tahun 2003 Tentang SISDIKNAS adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. PENGERTIAN BELAJAR A. Pengertian belajar menurut kamus bahasa Indonesia : Belajar adalah berusaha memperoleh kepandaian atau ilmu, berlatih, berubah tingkah laku atau tanggapan yang disebabkan oleh pengalaman. B. Pengertian belajar menurut beberapa ahli : CIRI-CIRI BELAJAR Ciri-ciri belajar adalah sebagai berikut : Dari beberapa pengertian belajar tersebut diatas, kata kunci dari belajar adalah perubahan perilaku. Dalam hal ini, Moh Surya (1997) mengemukakan ciri-ciri dari perubahan perilaku, yaitu : 1. Perubahan yang disadari dan disengaja (intensional). Perubahan perilaku yang terjadi merupakan usaha sadar dan disengaja dari individu yang bersangkutan. Begitu juga dengan hasil-hasilnya, individu yang bersangkutan menyadari bahwa dalam dirinya telah terjadi perubahan, misalnya pengetahuannya semakin bertambah atau keterampilannya semakin meningkat, dibandingkan sebelum dia mengikuti suatu proses belajar. Misalnya, seorang mahasiswa sedang belajar tentang psikologi pendidikan. Dia menyadari bahwa dia sedang berusaha mempelajari tentang Psikologi Pendidikan. Begitu juga, setelah belajar Psikologi Pendidikan dia menyadari bahwa dalam dirinya telah terjadi perubahan perilaku, dengan memperoleh sejumlah pengetahuan, sikap dan keterampilan yang berhubungan dengan Psikologi Pendidikan. 2. Perubahan yang berkesinambungan (kontinyu). Bertambahnya pengetahuan atau keterampilan yang dimiliki pada dasarnya merupakan kelanjutan dari pengetahuan dan keterampilan yang telah diperoleh sebelumnya. Begitu juga, pengetahuan, sikap dan keterampilan yang telah diperoleh itu, akan menjadi dasar bagi pengembangan pengetahuan, sikap dan keterampilan berikutnya. Misalnya, seorang mahasiswa telah belajar Psikologi Pendidikan tentang “Hakekat Belajar”. Ketika dia mengikuti perkuliahan “Strategi Belajar Mengajar”, maka pengetahuan, sikap dan keterampilannya tentang “Hakekat Belajar” akan dilanjutkan dan dapat dimanfaatkan dalam mengikuti perkuliahan “Strategi Belajar Mengajar”. 3. Perubahan yang fungsional. Setiap perubahan perilaku yang terjadi dapat dimanfaatkan untuk kepentingan hidup individu yang bersangkutan, baik untuk kepentingan masa sekarang maupun masa mendatang. Contoh : seorang mahasiswa belajar tentang psikologi pendidikan, maka pengetahuan dan keterampilannya dalam psikologi pendidikan dapat dimanfaatkan untuk mempelajari dan mengembangkan perilaku dirinya sendiri maupun mempelajari dan mengembangkan perilaku para peserta didiknya kelak ketika dia menjadi guru. 4. Perubahan yang bersifat positif. Perubahan perilaku yang terjadi bersifat normatif dan menujukkan ke arah kemajuan. Misalnya, seorang mahasiswa sebelum belajar tentang Psikologi Pendidikan menganggap bahwa dalam dalam Prose Belajar Mengajar tidak perlu mempertimbangkan perbedaan-perbedaan individual atau perkembangan perilaku dan pribadi peserta didiknya, namun setelah mengikuti pembelajaran Psikologi Pendidikan, dia memahami dan berkeinginan untuk menerapkan prinsip – prinsip perbedaan individual maupun prinsip-prinsip perkembangan individu jika dia kelak menjadi guru. 5. Perubahan yang bersifat aktif. Untuk memperoleh perilaku baru, individu yang bersangkutan aktif berupaya melakukan perubahan. Misalnya, mahasiswa ingin memperoleh pengetahuan baru tentang psikologi pendidikan, maka mahasiswa tersebut aktif melakukan kegiatan membaca dan mengkaji buku-buku psikologi pendidikan, berdiskusi dengan teman tentang psikologi pendidikan dan sebagainya. 6. Perubahan yang bersifat pemanen. Perubahan perilaku yang diperoleh dari proses belajar cenderung menetap dan menjadi bagian yang melekat dalam dirinya. Misalnya, mahasiswa belajar mengoperasikan komputer, maka penguasaan keterampilan mengoperasikan komputer tersebut akan menetap dan melekat dalam diri mahasiswa tersebut. 7. Perubahan yang bertujuan dan terarah. Individu melakukan kegiatan belajar pasti ada tujuan yang ingin dicapai, baik tujuan jangka pendek, jangka menengah maupun jangka panjang. Misalnya, seorang mahasiswa belajar psikologi pendidikan, tujuan yang ingin dicapai dalam panjang pendek mungkin dia ingin memperoleh pengetahuan, sikap dan keterampilan tentang psikologi pendidikan yang diwujudkan dalam bentuk kelulusan dengan memperoleh nilai A. Sedangkan tujuan jangka panjangnya dia ingin menjadi guru yang efektif dengan memiliki kompetensi yang memadai tentang Psikologi Pendidikan. Berbagai aktivitas dilakukan dan diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut. 8. Perubahan perilaku secara keseluruhan. Perubahan perilaku belajar bukan hanya sekedar memperoleh pengetahuan semata, tetapi termasuk memperoleh pula perubahan dalam sikap dan keterampilannya. Misalnya, mahasiswa belajar tentang “Teori-Teori Belajar”, disamping memperoleh informasi atau pengetahuan tentang “Teori-Teori Belajar”, dia juga memperoleh sikap tentang pentingnya seorang guru menguasai “Teori-Teori Belajar”. Begitu juga, dia memperoleh keterampilan dalam menerapkan “Teori-Teori Belajar”. Menurut Gagne (Abin Syamsuddin Makmun, 2003), perubahan perilaku yang merupakan hasil belajar dapat berbentuk : Sementara itu, Moh. Surya (1997) mengemukakan bahwa hasil belajar akan tampak dalam : Sedangkan menurut Bloom, perubahan perilaku yang terjadi sebagai hasil belajar meliputi perubahan dalam kawasan (domain) kognitif, afektif dan psikomotor, beserta tingkatan aspek-aspeknya. Berikut beberapa faktor pendorong mengapa manusia memiliki keinginan untuk belajar: JENIS-JENIS BELAJAR A. Menurut Robert M. Gagne Manusia memilki beragam potensi, karakter, dan kebutuhan dalam belajar. Karena itu banyak tipre-tipe belajar yang dilakukan manusia. Gagne mencatat ada delapan tipe belajar: 1. Belajar isyarat (signal learning). Menurut Gagne, ternyata tidak semua reaksi sepontan manusia terhadap stimulus sebenarnya tidak menimbulkan respon.dalam konteks inilah signal learning terjadi. Contohnya yaitu seorang guru yang memberikan isyarat kepada muridnya yang gaduh dengan bahasa tubuh tangan diangkat kemudian diturunkan. 2. Belajar stimulus respon. Belajar tipe ini memberikan respon yang tepat terhadap stimulus yang diberikan. Reaksi yang tepat diberikan penguatan (reinforcement) sehingga terbentuk perilaku tertentu (shaping). Contohnya yaitu seorang guru memberikan suatu bentuk pertanyaan atau gambaran tentang sesuatu yang kemudian ditanggapi oleh muridnya. Guru member pertanyaan kemudian murid menjawab. 3. Belajar merantaikan (chaining). Tipe ini merupakan belajar dengan membuat gerakan-gerakan motorik sehingga akhirnya membentuk rangkaian gerak dalam urutan tertentu. Contohnya yaitu pengajaran tari atau senam yang dari awal membutuhkan proses-proses dan tahapan untuk mencapai tujuannya. 4. Belajar asosiasi verbal (verbal Association). Tipe ini merupakan belajar menghubungkan suatu kata dengan suatu obyek yang berupa benda, orang atau kejadian dan merangkaikan sejumlah kata dalam urutan yang tepat. Contohnya yaitu Membuat langkah kerja dari suatu praktek dengan bntuan alat atau objek tertentu. Membuat prosedur dari praktek kayu. 5. Belajar membedakan (discrimination). Tipe belajar ini memberikan reaksi yang berbeda–beda pada stimulus yang mempunyai kesamaan. Contohnya yaitu seorang guru memberikan sebuah bentuk pertanyaan dalam berupa kata-kata atau benda yang mempunyai jawaban yang mempunyai banyak versi tetapi masih dalam satu bagian dalam jawaban yang benar. Guru memberikan sebuah bentuk (kubus) siswa menerka ada yang bilang berbentuk kotak, seperti kotak kardus, kubus, dsb. 6. Belajar konsep (concept learning). Belajar mengklsifikasikan stimulus, atau menempatkan obyek-obyek dalam kelompok tertentu yang membentuk suatu konsep. (konsep : satuan arti yang mewakili kesamaan ciri). Contohnya yaitu memahami sebuah prosedur dalam suatu praktek atau juga teori. Memahami prosedur praktek uji bahan sebelum praktek, atau konsep dalam kuliah mekanika teknik. 7. Belajar dalil (rule learning). Tipe ini meruoakan tipe belajar untuk menghasilkan aturan atau kaidah yang terdiri dari penggabungan beberapa konsep. Hubungan antara konsep biasanya dituangkan dalam bentuk kalimat. Contohnya yaitu seorang guru memberikan hukuman kepada siswa yang tidak mengerjakan tugas yang merupakan kewajiban siswa, dalam hal itu hukuman diberikan supaya siswa tidak mengulangi kesalahannya. 8. Belajar memecahkan masalah (problem solving). Tipe ini merupakan tipe belajar yang menggabungkan beberapa kaidah untuk memecahkan masalah, sehingga terbentuk kaedah yang lebih tinggi (higher order rule). Contohnya yaitu seorang guru memberikan kasus atau permasalahan kepada siswa-siswanya untuk memancing otak mereka mencari jawaban atau penyelesaian dari masalah tersebut Selain delapan jenis belajar, Gagne juga membuat semacam sistematika jenis belajar. Menurutnya sistematika tersebut mengelompokkan hasil-hasil belajar yang mempunyai ciri-ciri sama dalam satu katagori. Kelima hal tersebut adalah : 1. keterampilan intelektual : kemampuan seseorang untuk berinteraksi dengan lingkungannya dengan menggunakan symbol huruf, angka, kata atau gambar. 2. informasi verbal : seseorang belajar menyatakan atau menceritakan suatu fakta atau suatu peristiwa secara lisan atau tertulis, termasuk dengan cara menggambar. 3. strategi kognitif : kemampuan seseorang untuk mengatur proses belajarnya sendiri, mengingat dan berfikir. 4. keterampilan motorik : seseorang belajar melakukan gerakan secara teratur dalam urutan tertentu (organized motor act). Ciri khasnya adalah otomatisme yaitu gerakan berlangsung secara teratur dan berjalan dengan lancar dan luwes. 5. sikap keadaan mental yang mempengaruhi seseorang untuk melakukan pilihan-pilihan dalam bertindak B. Menurut Bloom Benyamin S. Bloom (1956) adalah ahli pendidikan yang terkenal sebagai pencetus konseptaksonomi belajar. Taksonomi belajar adalah pengelompokkan tujuan berdasarkan domain atau kawasan belajar. Menurut Bloom ada tiga dmain belajar yaitu : 1. Cognitive Domain (Kawasan Kognitif). Adalah kawasan yang berkaitan dengan aspek-aspek intelektual atau secara logis yang bias diukur dengan pikiran atau nalar. Kawasan ini tediri dari: • Pengetahuan (Knowledge). • Pemahaman (Comprehension). • Penerapan (Aplication) • Penguraian (Analysis). • Memadukan (Synthesis). • Penilaian (Evaluation). 2. Affective Domain (Kawasan afektif). Adalah kawasan yang berkaitan dengan aspek-aspek emosional, seperti perasaan, minat, sikap, kepatuhan terhadap moral dan sebagainya. Kawasan ini terdiri dari: • Penerimaan (receiving/attending). • Sambutan (responding). • Penilaian (valuing). • Pengorganisasian (organization). • Karakterisasi (characterization) 3. Psychomotor Domain (Kawasan psikomotorik). Adalah kawasan yang berkaitan dengan aspek-aspek keterampilan yang melibatkan fungsi sistem syaraf dan otot (neuronmuscular system) dan fungsi psikis. Kawasan ini terdiri dari: • Kesiapan (set) • Meniru (imitation) • Membiasakan (habitual) • Adaptasi (adaption) C. Penggabungan Dari Tiga Ahli (A. De Block, Robert M. Gagne, C. Van Parreren) 1. Belajar arti kata-kata. Belajar arti kata-kata maksudnya adalah orang mulai menangkap arti yang terkandung dalam kata-kata yang digunakan. 2. Belajar Kognitif. Tak dapat disangkal bahwa belajar kognitif bersentuhan dengan masalah mental. Objek-objek yang diamati dihadirkan dalam diri seseorang melalui tanggapan, gagasan, atau lambang yang merupakan sesuatu bersifat mental. 3. Belajar Menghafal. Menghafal adalah suatu aktivitas menanamkan suatu materi verbal dalam ingatan, sehingga nantinya dapat diproduksikan {diingat} kembali secara harfiah, sesuai dengan materi yang asli, dan menyimpan kesan-kesan yang nantinya suatu waktu bila diperlukan dapat diingat kembali kealam dasar. 4. Belajar Teoritis. Bentuk belajar ini bertujuan untuk menempatkan semua data dan fakta {pengetahuan} dalam suatu kerangka organisasi mental, sehingga dapat difahami dan digunakan untuk memecahkan problem, seperti terjadi dalam bidang-bidang studi ilmiah. 5. Belajar Konsep. Konsep atau pengertian adalah satuan arti yang mewakili sejumlah objek yang mempunyai ciri-ciri yang sama, orang yang memiliki konsep mampu mengadakan abstraksi terhadap objek-objek yang dihadapinya, sehingga objek ditempatkan dalam golongan tertentu. 6. Belajar Kaidah. Belajar kaidah {rule} termasuk dari jenis belajar kemahiran intelektual {intellectual skill}, yang dikemukakan oleh Gagne. Belajar kaidah adalah bila dua konsep atau lebih dihubungkan satu sama lain, terbentuk suatu ketentuan yang mereprensikan suatu keteraturan. 7. Belajar Berpikir. Dalam belajar ini, orang dihadapkan pada suatu masalah yang harus dipecahkan, tetapi tanpa melalui pengamatan dan reorganisasi dalam pengamatan.masalah harus dipecahkan melalui operasi mental, khususnya menggunakan konsep dan kaidah serta metode-metode bekerja tertentu. Konsep Dewey tentang berpikir menjadi dasar untuk pemecahan masalah adalah sebagai berikut: • Adanya kesulitan yang dirasakan dan kesadaran akan adanya masalah. • Masalah itu diperjelas dan dibatasi. • Mencari informasi atau data dan kemudian data itu diorganisasikan. • Mencari hubungan-hubungan untuk merumuskan hipotesis-hipotesis, kemudian hipotesis-hipotesis itu dinilai, diuji, agar dapat ditentukan untuk diterima atau ditolak. • Penerapan pemecahan terhadap masalah yang dihadapi sekaligus berlaku sabagai pengujian kebenaran pemecahan tersebut untuk dapat sampai pada kesimpulan. Menurut Dewey, langkah-langkah dalam pemecahan masalah adalah sebagai berikut. • Kesadaran akan adanya masalah. • Merumuskan masalah. • Mencari data dan merumuskan hipotesis-hipotesis. • Menguji hipotesis-hipotesis itu. • Menerima hipotesis yang benar. D Menurut UNESCO UNESCO telah mengeluarkan kategori jenis belajar yang dikenal sebagai empat pilar dalam kegiatan belajar ( A. Suhaenah Suparno, 2000 ) : 1. Learning to know. Pada Learning to know ini terkandung makna bagaimana belajar, dalam hal ini ada tiga aspek : apa yang dipelajari, bagaimana caranya dan siapa yang belajar. 2. Learning to do. Hal ini dikaitkan dengan dunia kerja, membantu seseorang mampu mempersiapkan diri untuk bekerja atau mencari nafkah. Jadi dalam hal ini menekankan perkembangan ketrampilan untuk yang berhubungan dengan dunia kerja. 3. Learning to live together. Belajar ini ditekankan seseorang/pihak yang belajar mampu hidup bersama, dengan memahami orang lain, sejarahnya, budayanya, dan mampu berinteraksi dengan orang lain secara harmonis. 4. Learning to be. Belajar ini ditekankan pada pengembangan potensi insani secara maksimal. Setiap individu didorong untuk berkembang dan mengaktualisasikan diri. Dengan learning to be seseorang akan mengenal jati diri, memahami kemampuan dan kelemahanya dengan kompetensi-kompetensinya akan membangun pribadi secara utuh. PENGERTIAN PEMBELAJARAN Istilah pembelajaran berhubungan erat dengan pengertian belajar dan mengajar. Belajar, mengajar dan pembelajaran terjadi bersama-sama. Belajar dapat terjadi tanpa guru atau tanpa kegiatan mengajar dan pembelajaran formal lain. Sedangkan mengajar meliputi segala hal yang guru lakukan di dalam kelas. A. Pengertian pembelajaran menurut kamus bahasa Indonesia : Pembelajaran adalah proses, cara menjadikan orang atau makhluk hidup belajar. B. Pengertian pembelajaran menurut beberapa ahli : 1. Duffy dan Roehler (1989). Pembelajaran adalah suatu usaha yang sengaja melibatkan dan menggunakan pengetahuan profesional yang dimiliki guru untuk mencapai tujuan kurikulum. 2. Gagne dan Briggs (1979:3). Mengartikan instruction atau pembelajaran ini adalah suatu sistem yang bertujuan untuk membantu proses belajar siswa, yang berisi serangkaian peristiwa yang dirancang, disusun sedemikian rupa untuk mempengaruhi dan mendukung terjadinya proses belajar siswa yang bersifat internal. 3. Undang-Undang No. 23 Tahun 2003 Tentang SISDIKNAS Pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar. CIRI-CIRI PEMBELAJARAN Ciri-ciri pembelajaran sebagai berikut : 1. merupakan upaya sadar dan disengaja 2. pembelajaran harus membuat siswa belajar 3. tujuan harus ditetapkan terlebih dahulu sebelum proses dilaksanakan 4. pelaksanaannya terkendali, baik isinya, waktu, proses maupun hasilnya PEMBELAJARAN, PENGAJARAN, PEMELAJAR, DAN PEMBELAJAR Pembelajaran adalah separangkat tindakan yang dirancang untuk mendukung proses belajar siswa, dengan memperhitungkan kejadia-kejadian ekstrim yang berperan terhadap rangkaian kejadian-kejadian intern yang berlangsung dialami siswa (Winkel,1991) Pengajaran adalah proses, perbuatan, cara mengajar atau mengajarkan perihal mengajar, segala sesuatu mengenai mengajar, peringatan (tentang pengalaman, peristiwa yang dialami atau dilihatnya). (Dariyanto S.S, Kamus Bahasa Indonesia, 1997). Pengajaran adalah kegiatan yang dilakukan guru dalam menyampaikan pengetahuan kepada siswa. Pengajaran juga diartikan sebagi interaksi belajar dan mengajar. Pengajaran berlangsung sebagai suatu proses yang saling mempengaruhi antara guru dan siswa. Pemelajar adalah orang yang melakukan pengajaran. Pembelajar adalah orang yang melakukan pembelajaran. Perbedaan antara pengajaran dan pembelajaran: NO PENGAJARAN PEMBELAJARAN 1 Dilaksanakan oleh mereka yang berprofesi sebagai pengajar Dilaksanakan oleh mereka yang dapat membuat orang belajar 2 Tujuannya menyampaikan informasi kepada si belajar Tujuannya agar terjadi belajar pada diri siswa 3 Merupakan salah satu penerapan strategi pembelajaran Merupakan cara untuk mengembangkan rencana yang terorganisasi untuk keperluan belajar. 4 Kegiatan belajar berlangsung bila ada guru atau pengajar Kegiatan belajar dapat berlangsung dengan atau tanpa hadirnya guru PRINSIP PEMBELAJARAN MENURUT GAGNE DAN ATWI SUPARMAN Beberapa prinsip pembelajaran dikemukakan oleh Atwi Suparman dengan mengadaptasi pemikiran Fillbeck (1974), sebagai berikut : Dalam buku Condition of Learning, Gagne (1997) mengemukakan sembilan prinsip yang dapat dilakukan guru dalam melaksanakan pembelajaran, sebagai berikut: Teori-Teori Belajar Jika menelaah literatur psikologi, kita akan menemukan banyak teori belajar yang bersumber dari aliran-aliran psikologi. Dalam tautan di bawah ini akan dikemukakan empat jenis teori belajar, yaitu: (A) teori belajar behaviorisme; (B) teori belajar kognitivisme; (C) teori belajar konstruktivisme; (D) teori belajar humanisme dan (E) teori belajar gestalt. A. Teori Belajar Behaviorisme Behaviorisme merupakan salah aliran psikologi yang memandang individu hanya dari sisi fenomena jasmaniah, dan mengabaikan aspek-aspek mental. Dengan kata lain, behaviorisme tidak mengakui adanya kecerdasan, bakat, minat dan perasaan individu dalam suatu belajar. Peristiwa belajar semata-mata melatih refleks-refleks sedemikian rupa sehingga menjadi kebiasaan yang dikuasai individu. Beberapa hukum belajar yang dihasilkan dari pendekatan behaviorisme ini, diantaranya : 1. Connectionism ( S-R Bond) menurut Thorndike. Dari eksperimen yang dilakukan Thorndike terhadap kucing menghasilkan hukum-hukum belajar, diantaranya: 2. Classical Conditioning menurut Ivan Pavlov Dari eksperimen yang dilakukan Pavlov terhadap seekor anjing menghasilkan hukum-hukum belajar, diantaranya : 3. Operant Conditioning menurut B.F. Skinner Dari eksperimen yang dilakukan B.F. Skinner terhadap tikus dan selanjutnya terhadap burung merpati menghasilkan hukum-hukum belajar, diantaranya : Reber (Muhibin Syah, 2003) menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan operant adalah sejumlah perilaku yang membawa efek yang sama terhadap lingkungan. Respons dalam operant conditioning terjadi tanpa didahului oleh stimulus, melainkan oleh efek yang ditimbulkan oleh reinforcer. Reinforcer itu sendiri pada dasarnya adalah stimulus yang meningkatkan kemungkinan timbulnya sejumlah respons tertentu, namun tidak sengaja diadakan sebagai pasangan stimulus lainnya seperti dalam classical conditioning. 4. Social Learning menurut Albert Bandura Teori belajar sosial atau disebut juga teori observational learning adalah sebuah teori belajar yang relatif masih baru dibandingkan dengan teori-teori belajar lainnya. Berbeda dengan penganut Behaviorisme lainnya, Bandura memandang Perilaku individu tidak semata-mata refleks otomatis atas stimulus (S-R Bond), melainkan juga akibat reaksi yang timbul sebagai hasil interaksi antara lingkungan dengan skema kognitif individu itu sendiri. Prinsip dasar belajar menurut teori ini, bahwa yang dipelajari individu terutama dalam belajar sosial dan moral terjadi melalui peniruan (imitation) dan penyajian contoh perilaku (modeling). Teori ini juga masih memandang pentingnya conditioning. Melalui pemberian reward dan punishment, seorang individu akan berfikir dan memutuskan perilaku sosial mana yang perlu dilakukan. Kajian konsep dasar belajar dalam Teori Behaviorisme didasarkan pada pemikiran bahwa belajar merupakan salah satu jenis perilaku (behavior) individu atau peserta didik yang dilakukan secara sadar. Individu berperilaku apabila ada rangsangan (stimuli), sehingga dapat dikatakan peserta didik di SD/MI akan belajar apabila menerima rangsangan dari guru. Semakin tepat dan intensif rangsangan yang diberikan oleh guru akan semakin tepat dan intensif pula kegiatan belajar yang dilakukan peserta didik. Dalam belajar tersebut kondisi lingkungan berperan sebagai perangsang (stimulator) yang harus direspon individu dengan sejumlah konsekuensi tertentu. Konsekuensi yang dihadapi peserta didik, ada yang bersifat positif (misalnya perasaan puas, gembira, pujian, dan lain-lain sejenisnya) tetapi ada pula yang bersifat negatif (misalnya perasaan gagal, sedih, teguran, dan lain-lain sejenisnya). Konsekuensi positif dan negatif tersebut berfungsi sebagai penguat (reinforce) dalam kegiatan belajar peserta didik. Seringkali guru mengaplikasikan konsep belajar menurut teori behaviorisme secara tidak tepat, karena setiap kali peserta didik merespon secara tidak tepat atau tidak benar suatu tugas, guru memarahi atau menghukum peserta didik tersebut. Tindakan guru seperti ini (memarahi atau menghukum setiap kali peserta didik merespon secara tidak tepat) dapat disebut salah atau tidak profesional apabila hukuman (negative consequence) tidak difungsikan sebagai penguat atau reinforce. Peserta didik seringkali melakukan perilaku tertentu karena meniru apa yang dilihatnya dilakukan orang lain di sekitarnya seperti saudara kandungnya, orangtuanya, teman sekolahnya, bahkan oleh gurunya. Oleh sebab itu dapat dikatakan, apabila lingkungan sosial di mana peserta didik berada sehari-hari merupakan lingkungan yang mengkondisikan secara efektif memungkinkan suasana belajar, maka peserta didik akan melakukan kegiatan atau perilaku belajar yang efektif. Sebetulnya masih banyak tokoh-tokoh lain yang mengembangkan teori belajar behavioristik ini, seperti : Watson yang menghasilkan prinsip kekerapan dan prinsip kebaruan, Guthrie dengan teorinya yang disebut Contiguity Theory yang menghasilkan Metode Ambang (the treshold method), metode meletihkan (The Fatigue Method) dan Metode rangsangan tak serasi (The Incompatible Response Method), Miller dan Dollard dengan teori pengurangan dorongan. B. Teori Belajar Kognitivisme Teori belajar kognitivisme mengacu pada wacana psikologi kognitif, yang didasarkan pada kegiatan kognitif dalam belajar. Para ahli teori belajar ini berupaya menganalisis secara ilmiah proses mental dan struktur ingatan atau cognition dalam aktifitas belajar. Cognition diartikan sebagai aktifitas mengetahui, memperoleh, mengorganisasikan, dan menggunakan pengetahuan (Lefrancois, 1985). Tekanan utama psikologi kognitif adalah struktur kognitif, yaitu perbendaharaan pengetahuan pribadi individu yang mencakup ingatan jangka panjangnya (long-term memory). Psikologi kognitif memandang manusia sebagai makhluk yang selalu aktif mencari dan menyeleksi informasi untuk diproses. Perkatian utama psikologi kognitif adalah upaya memahami proses individu mencari, menyeleksi, mengorganisasikan, dan menyimpan informasi. Belajar kognitif berlangsung berdasar schemata atau struktur mental individu yang mengorganisasikan hasil pengamatannya. Struktur mental individu tersebut berkembangan sesuai dengan tingkatan perkembangan kognitif seseorang. Semakin tinggi tingkat perkembangan kognitif seseorang semakin tinggi pula kemampuan dan keterampilannya dalam memproses berbagai informasi atau pengetahuan yang diterimanya dari lingkungan, baik lingkungan phisik maupun lingkungan sosial. Itulah sebabnya, teori belajar kognitivisme dapat disebut sebagai (1) teori perkembangan kognitif, (2) teori kognisi sosial, dan (3) teori pemrosesan informasi. 1. Perkembangan Kognitif menurut Piaget Piaget merupakan salah seorang tokoh yang disebut-sebut sebagai pelopor aliran konstruktivisme. Salah satu sumbangan pemikirannya yang banyak digunakan sebagai rujukan untuk memahami perkembangan kognitif individu yaitu teori tentang tahapan perkembangan individu. Menurut Piaget bahwa perkembangan kognitif individu meliputi empat tahap yaitu : (1) sensory motor; (2) pre operational; (3) concrete operational dan (4) formal operational. Pemikiran lain dari Piaget tentang proses rekonstruksi pengetahuan individu yaitu asimilasi dan akomodasi. James Atherton (2005) menyebutkan bahwa asisimilasi adalah “the process by which a person takes material into their mind from the environment, which may mean changing the evidence of their senses to make it fit” dan akomodasi adalah “the difference made to one’s mind or concepts by the process of assimilation” Asimilasi ditempuh ketika individu menyatukan informasi baru ke perbendaharaan informasi yang sudah dimiliki atau diketahuinya kemudian menggantikannya dengan informasi terbaru. Individu mengorganisasikan makna informasi itu ke dalam ingatan jangka panjang (long-term memory). Ingatan jangka panjang yang terorganisasikan inilah yang diartikan sebagai struktur kognitif. Struktur kognitif berisi sejumlah coding yang mengadung segi-segi intelek yang mengatur atau memerintah perilaku individu; perubahan perilaku mendasari penetapan tahap-tahap perkembangan kognitif. Tiap tahapan perkembangan menggambarkan isi struktur kognitif yang khas sesuai perbedaan antar tahapan. Tahapan perkembangan belajar menurut Piaget di gambarkan pada diagram di bawah ini : Dikemukakannya pula, bahwa belajar akan lebih berhasil apabila disesuaikan dengan tahap perkembangan kognitif peserta didik. Peserta didik hendaknya diberi kesempatan untuk melakukan eksperimen dengan obyek fisik, yang ditunjang oleh interaksi dengan teman sebaya dan dibantu oleh pertanyaan tilikan dari guru. Guru hendaknya banyak memberikan rangsangan kepada peserta didik agar mau berinteraksi dengan lingkungan secara aktif, mencari dan menemukan berbagai hal dari lingkungan. Implikasi teori perkembangan kognitif Piaget dalam pembelajaran adalah : 2. Kognisi Sosial oleh L.S. Vygotsky L.S. Vygotsky, mendasari pemikiran bahwa budaya berperan penting dalam belajar seseorang. Budaya adalah penentu perkembangan, tiap individu berkembang dalam konteks budaya, sehingga proses belajar individu dipengaruhi oleh lingkungan utama budaya keluarga. Budaya lingkungan individu membelajarkannya apa dan bagaimana berpikir. Konsep dasar teori ini diringkas sebagai berikut: 3. Pemprosesan Informasi dari Robert Gagne Asumsi yang mendasari teori ini adalah bahwa pembelajaran merupakan faktor yang sangat penting dalam perkembangan. Perkembangan merupakan hasil kumulatif dari pembelajaran. Menurut Gagne bahwa dalam pembelajaran terjadi proses penerimaan informasi, untuk kemudian diolah sehingga menghasilkan keluaran dalam bentuk hasil belajar. Dalam pemrosesan informasi terjadi adanya interaksi antara kondisi-kondisi internal dan kondisi-kondisi eksternal individu. Kondisi internal yaitu keadaan dalam diri individu yang diperlukan untuk mencapai hasil belajar dan proses kognitif yang terjadi dalam individu. Sedangkan kondisi eksternal adalah rangsangan dari lingkungan yang mempengaruhi individu dalam proses pembelajaran. Model belajar pemrosesan informasi ini sering pula disebut model kognitif information processing, karena dalam proses belajar ini tersedia tiga taraf struktural sistem informasi, yaitu: Menurut Gagne tahapan proses pembelajaran meliputi delapan fase yaitu, (1) motivasi; (2) pemahaman; (3) pemerolehan; (4) penyimpanan; (5) ingatan kembali; (6) generalisasi; (7) perlakuan dan (8) umpan balik. C. Teori Belajar Konstruktivisme Konsep belajar menurut teori belajar konstruktivisme yaitu pengetahuan baru dikonstruksi sendiri oleh peserta didik secara aktif berdasarkan pengetahuan yang telah diperoleh sebelumnya. Pendekatan konstruktivisme dalam proses pembelajaran didasari oleh kenyataan bahwa tiap individu memiliki kemampuan untuk mengkonstruksi kembali pengalaman atau pengetahuan yang telah dimilikinya. Oleh sebab itu dapat dikatakan bahwa pembelajaran konstruktivisme merupakan satu teknik pembelajaran yang melibatkan peserta didik untuk membina sendiri secara aktif pengetahuan dengan menggunakan pengetahuan yang telah ada dalam diri mereka masing-masing. Guru hanya sebagai fasilitator atau pencipta kondisi belajar yang memungkinkan peserta didik secara aktif mencari sendiri informasi, mengasimilasi dan mengadaptasi sendiri informasi, dan mengkonstruksinya menjadi pengetahuan yang baru berdasarkan pengetahuan yang telah dimiliki masing-masing. Berikt tabel peranan peserta didik dan guru dalam pembelajaran konstruktivisme Peranan Guru Dalam Pembelajaran Efektivitas dan efisien belajar individu di sekolah sangat bergantung kepada peran guru. Abin Syamsuddin (2003) mengemukakan bahwa dalam pengertian pendidikan secara luas, seorang guru yang ideal seyogyanya dapat berperan sebagai : Sedangkan dalam pengertian pendidikan yang terbatas, Abin Syamsuddin dengan mengutip pemikiran Gage dan Berliner, mengemukakan peran guru dalam proses pembelajaran peserta didik, yang mencakup : Selanjutnya, dalam konteks proses belajar mengajar di Indonesia, Abin Syamsuddin menambahkan satu peran lagi yaitu sebagai pembimbing (teacher counsel), di mana guru dituntut untuk mampu mengidentifikasi peserta didik yang diduga mengalami kesulitan dalam belajar, melakukan diagnosa, prognosa, dan kalau masih dalam batas kewenangannya, harus membantu pemecahannya (remedial teaching). Di lain pihak, Moh. Surya (1997) mengemukakan tentang peranan guru di sekolah, keluarga dan masyarakat. Di sekolah, guru berperan sebagai perancang pembelajaran, pengelola pembelajaran, penilai hasil pembelajaran peserta didik, pengarah pembelajaran dan pembimbing peserta didik. Sedangkan dalam keluarga, guru berperan sebagai pendidik dalam keluarga (family educator). Sementara itu di masyarakat, guru berperan sebagai pembina masyarakat (social developer), penemu masyarakat (social inovator), dan agen masyarakat (social agent). Lebih jauh, dikemukakan pula tentang peranan guru yang berhubungan dengan aktivitas pengajaran dan administrasi pendidikan, diri pribadi (self oriented), dan dari sudut pandang psikologis. Dalam hubungannya dengan aktivitas pembelajaran dan administrasi pendidikan, guru berperan sebagai : Di pandang dari segi diri-pribadinya (self oriented), seorang guru berperan sebagai : Dari sudut pandang secara psikologis, guru berperan sebagai : Sementara itu, Doyle sebagaimana dikutip oleh Sudarwan Danim (2002) mengemukan dua peran utama guru dalam pembelajaran yaitu menciptakan keteraturan (establishing order) dan memfasilitasi proses belajar (facilitating learning). Yang dimaksud keteraturan di sini mencakup hal-hal yang terkait langsung atau tidak langsung dengan proses pembelajaran, seperti : tata letak tempat duduk, disiplin peserta didik di kelas, interaksi peserta didik dengan sesamanya, interaksi peserta didik dengan guru, jam masuk dan keluar untuk setiap sesi mata pelajaran, pengelolaan sumber belajar, pengelolaan bahan belajar, prosedur dan sistem yang mendukung proses pembelajaran, lingkungan belajar, dan lain-lain. Sejalan dengan tantangan kehidupan global, peran dan tanggung jawab guru pada masa mendatang akan semakin kompleks, sehingga menuntut guru untuk senantiasa melakukan berbagai peningkatan dan penyesuaian kemampuan profesionalnya. Guru harus harus lebih dinamis dan kreatif dalam mengembangkan proses pembelajaran peserta didik. Guru di masa mendatang tidak lagi menjadi satu-satunya orang yang paling well informed terhadap berbagai informasi dan pengetahuan yang sedang tumbuh, berkembang, berinteraksi dengan manusia di jagat raya ini. Di masa depan, guru bukan satu-satunya orang yang lebih pandai di tengah-tengah peserta didiknya. Jika guru tidak memahami mekanisme dan pola penyebaran informasi yang demikian cepat, ia akan terpuruk secara profesional. Kalau hal ini terjadi, ia akan kehilangan kepercayaan baik dari peserta didik, orang tua maupun masyarakat. Untuk menghadapi tantangan profesionalitas tersebut, guru perlu berfikir secara antisipatif dan proaktif. Artinya, guru harus melakukan pembaruan ilmu dan pengetahuan yang dimilikinya secara terus menerus. Disamping itu, guru masa depan harus paham penelitian guna mendukung terhadap efektivitas pengajaran yang dilaksanakannya, sehingga dengan dukungan hasil penelitiaan guru tidak terjebak pada praktek pengajaran yang menurut asumsi mereka sudah efektif, namum kenyataannya justru mematikan kreativitas para peserta didiknya. Begitu juga, dengan dukungan hasil penelitian yang mutakhir memungkinkan guru untuk melakukan pengajaran yang bervariasi dari tahun ke tahun, disesuaikan dengan konteks perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sedang berlangsung. Tasker (1992:30) mengemukakan tiga penekanan dalam teori belajar konstruktivisme sebagai berikut. Pertama adalah peran aktif peserta didik dalam mengkonstruksi pengetahuan secara bermakna. Kedua adalah pentingya membuat kaitan antara gagasan dalam pengkonstruksian secara bermakna. Ketiga adalah mengaitkan antara gagasan dengan informasi baru yang diterima. Wheatley (1991:12) mendukung pendapat di atas dengan mengajukan dua prinsip utama dalam pembelajaran dengan teori belajar konstrukltivisme. Pertama, pengetahuan tidak dapat diperoleh secara pasif, tetapi secara aktif oleh struktur kognitif peserta didik. Kedua, fungsi kognisi bersifat adaptif dan membantu pengorganisasian melalui pengalaman nyata yang dimiliki anak. Dalam upaya mengimplementasikan teori belajar konstruktivisme, Tytler (1996:20) mengajukan beberapa saran yang berkaitan dengan rancangan pembelajaran, sebagai berikut: (1) memberi kesempatan kepada peserta didik untuk mengemukakan gagasannya dengan bahasa sendiri, (2) memberi kesempatan kepada peserta didik untuk berfikir tentang pengalamannya sehingga menjadi lebih kreatif dan imajinatif, (3) memberi kesempatan kepada peserta didik untuk mencoba gagasan baru, (4) memberi pengalaman yang berhubungan dengan gagasan yang telah dimiliki peserta didik, (5) mendorong peserta didik untuk memikirkan perubahan gagasan mereka, dan (6) menciptakan lingkungan belajar yang kondusif. Diharapkan melalui pemeblajaran konstruktivisme, peserta didik dapat tumbuh kembang menjadi individu yang penuh kepercayaan diri yang memiliki sifat-sifat antara lain: a. Bersikap terbuka dalam menerima semua pengalaman dan mengembangkannya menjadi persepsi atau pengetahuan yang baru dan selalu diperbaharui; b. Percaya diri sehingga dapat berperilaku secara tepat dalam menghadapi segala sesuatu; c. Berperasaan bebas tanpa merasa terpaksa dalam melakukan segala sesuatu tanpa mengharapkan atau tergantung pada bantuan orang lain; d. Kreatif dalam mencari pemecahan masalah atau dalam melakukan tugas yang dihadapinya. D. Teori Belajar Humanisme Teori belajar humanisme memandang kegiatan belajar merupakan kegiatan yang melibatkan potensi psikis yang bersifat kognitif, afektif, dan konatif. Ibu, yang dicontohkan di atas hanya melihat kegiatan belajar anaknya dari sisi afektif semata tanpa menyadari bahwa sisi afektif (perasaan) dan konatif (psikomotorik) turut pula berperan dalam belajar. Salah seorang tokoh teori belajar humanisme adalah Carl Ransom Rogers (1902- 1987) yang lahir di Oak Park, Illinois, Chicago, Amerika Serikat. Rogers terkenal sebagai seorang tokoh psikologi humanis, aliran fenomenologis-eksistensial, psikolog klinis dan terapis. Ide dan konsep teorinya banyak didapatkan dalam pengalaman-pengalaman terapeutiknya yang banyak dipengaruhi oleh teori kebutuhan (needs) yang diperkenalkan Abraham H. Maslow. Menurut teori kebutuhan Maslow, di dalam diri tiap individu terdapat sejumlah kebutuhan yang tersusun secara berjenjang, mulai dari kebutuhan yang paling rendah tetapi mendasar (physiological needs) sampai pada jenjang paling tinggi (self actualization). Setiap individu mempunyai keinginan untuk mengaktualisasi diri, yang oleh Carl R. Rogers disebut dorongan untuk menjadi dirinya sendiri (to becoming a person). Peserta didik pun memiliki dorongan untuk menjadi dirinya sendiri, karena di dalam dirinya terdapat kemampuan untuk mengerti dirinya sendiri, menentukan hidupnya sendiri, dan menangani sendiri masalah yang dihadapinya. Itulah sebabnya, dalam proses pembelajaran hendaknya diciptakan kondisi pembelajaran yang memungkinkan peserta didik secara aktif mengaktualisasi dirinya. Aktualisasi diri merupakan suatu proses menjadi diri sendiri dan mengembangkan sifat-sifat dan potensi-potensi psikologis yang unik. Proses aktualisasi diri seseorang berkembang sejalan dengan perkembangan hidupnya karena setiap individu, dilahirkan disertai potensi tumbuh-kembang baik secara fisik maupun secara phisik masing-masing. Proses tumbuh-kembang pada setiap individu mengikuti tahapan, arah, irama, dan tempo sendiri-sendiri, yang ditandai oleh berbagai ciri atau karakteristiknya masing-masing. Ada individu yang tempo perkembangannya cepat tetapi iramanya tidak stabil dan arahnya tidak menentu, dan ada pula individu yang tempo perkembangannya tidak cepat tetapi irama dan arahnya jelas. Dalam kaitannya dengan proses pendidikan formal (sekolah), Slavin (1994:70- 110) mengelompokkan tahapan perkembangan anak, yaitu (1) tahapan early childhood, (2) tahapan middle childhood, dan (3) tahapan adolescence, dengan dimensi utama perkembangan mencakup (a) dimensi kognitif, (b) dimensi fisik, dan (c) dimensi sosioemosi. Tiap dimensi perkembangan tersebut memiliki karakteristik yang berbeda antara tahapan perkembangan yang satu dengan tahapan perkembangan yang lainnya. Pada tahapan early childhood, perkembangan individu dalam dimensi perkembangan kognitif lebih ditandai oleh penguasaan bahasa (language aquisition). Individu pada tahapan perkembangan ini mendapatkan banyak sekali perbendaharaan bahasa. Sejak lahir sampai pada usia 2 tahun biasanya individu (bayi) mencoba memahami dunia sekitarnya melalui penggunaan rasa (senses). Pengetahuan atau apa yang diketahuinya lebih banyak didasarkan pada gerakan fisik, dan apa yang dipahaminya terbatas pada kejadian yang baru saja dialaminya. Pada tahapan perkembangan middle childhoods, perkembangan kognitif seseorang mulai bergeser ke perkembangan proses berpikir. Pada awalnya, proses berpikir individu pada tahapan perkembangan ini dimulai dengan hal-hal konkrit operasional, dan selanjutnya ke hal-hal abstrak konseptual. Apabila individu gagal dalam perkembangan proses berpikir dalam hal-hal konkrit operasional, maka besar kemungkinan mengalami kesulitan dalam proses berpikir abstrak konseptual. Pada tahapan perkembangan adollescence, perkembangan kognitif lebih ditandai oleh perkembangan fungsi otak (brain) sebagai instrumen berpikir. Berpikir formal operasional atau berpikir abstrak konseptual mulai berkembang; di samping itu mulai berkembang pola pikir reasoning (penalaran) baik secara induktif (khusus=>umum) maupun secara deduktif (umum=>khusus). Dalam menghadapi segala kejadian atau pengalaman tertentu, individu mengajukan hipotesis atau jawaban sementara yang menggunakan pola pikir deduktif. E. Teori Belajar Gestalt Gestalt berasal dari bahasa Jerman yang mempunyai padanan arti sebagai “bentuk atau konfigurasi”. Pokok pandangan Gestalt adalah bahwa obyek atau peristiwa tertentu akan dipandang sebagai sesuatu keseluruhan yang terorganisasikan. Menurut Koffka dan Kohler, ada tujuh prinsip organisasi yang terpenting yaitu : Terdapat empat asumsi yang mendasari pandangan Gestalt, yaitu: Aplikasi teori Gestalt dalam proses pembelajaran antara lain : Judd menekankan pentingnya penangkapan prinsip-prinsip pokok yang luas dalam pembelajaran dan kemudian menyusun ketentuan-ketentuan umum (generalisasi). Transfer belajar akan terjadi apabila peserta didik telah menangkap prinsip-prinsip pokok dari suatu persoalan dan menemukan generalisasi untuk kemudian digunakan dalam memecahkan masalah dalam situasi lain. Oleh karena itu, guru hendaknya dapat membantu peserta didik untuk menguasai prinsip-prinsip pokok dari materi yang diajarkannya. B. Prinsip Perencanaan Pembelajaran Sejumlah prinsip yang harus diperhatikan dalam perencanaan pembelajaran yang mendidik atau dalam pengembangan kurikulum di SD/MI (termasuk pula pada satuan pendidikan lainnya pada tingkat pendidikan dasar dan menengah) adalah Kurikulum hendaknya dikembangkan berdasarkan prinsip bahwa peserta didik memiliki posisi sentral untuk mengembangkan kompetensinya agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggungjaab. Untuk mendukung pencapaian tujuan tersebut pengembangan kompetensi peserta didik disesuaikan dengan potensi, perkembangan, kebutuhan, dan kepentingan peserta didik serta tuntutan lingkungan. Memiliki posisi sentral berarti kegiatan pembelajaran berpusat pada peserta didik. Prinsip ini sesuai dengan konsep dasar teori belajar konstruktivisme dan humanisme, karena peserta didik melakukan kegiatan belajar sesuai dengan potensi yang dimilikinya dan diarahkan ke pemenuhan kebutuhan dirinya. (1) Prinsip Kurikulum (2) Prinsip beragam dan terpadu. (3) Prinsip tanggap terhadap perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni (ipteks). (4) Prinsip relevan dengan kebutuhan kehidupan (5) Prinsip menyeluruh dan berkesinambungan. (6) Prinsip belajar sepanjang hayat (7) Prinsip seimbang antara kepentingan nasional dan kepentingan daerah Secara operasional, pengembangan kurikulum harus mengacu pada hal-hal sebagai berikut. (a) Peningkatan iman dan takwa serta akhlak mulia. (b) Peningkatan potensi, kecerdasan, dan minat sesuai dengan tingkat perkembangan dan kemampuan peserta didik (c) Keragaman potensi dan karakteristik daerah dan lingkungan. (d) Tuntutan pengembangan daerah dan nasional (e) Tuntutan dunia kerja (f) Perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni (ipteks). (g) Agama. (h) Dinamika perkembangan social (i) Persatuan nasional dan nilai-nilai kebangsaan (j) Kondisi sosial budaya masyarakat setempat (k) Kesetaraan jender. (l) Karakteristik satuan pendidikan. Prinsip penyusunan silabus (a) lmiah, artinya keseluruhan materi dan kegiatan yang menjadi muatan dalam silabus harus benar dan dapat dipertanggung jawabkan secara keilmuan, terutama ilmu pendidikan dan pembelajaran; (b) Relevan, artinya cakupan, kedalaman, tingkat kesukaran, dan urutan penyajian materi dalam silabus sesuai dengan tingkat perkembangan fisik, intelektual, sosial, emosional, dan spiritual peserta didik; (c) Sistematis, artinya komponen-komponen silabus saling berhubungan secara fungsional dalam mencapai kompetensi; (d) Konsisten, artinya adanya hubungan yang konsisten (ajeg, taat asas) antara kompetensi dasar, indikator, materi pokok, pengalaman belajar, sumber belajar, kegiatan pembelajaran, dan sistem penilaian; (e) Memadai, artinya cakupan indikator, materi pokok, pengalaman belajar, sumber belajar, kegiatan pembelajaran, dan sistem penilaian cukup untuk menunjang pencapaian kompetensi belajar; (f) Aktual dan Kontekstual, artinya cakupan indikator, materi pokok, pengalaman belajar, sumber belajar, kegiatan pembelajaran, dan sistem penilaian meperhatikan perkembangan ilmu teknologi, dan seni mutakhir dalam kehidupan nyata, dan peristiwa yang terjadi; (g) Fleksibel, artinya keseluruhan komponen pribadi dapat mengakomodasi keragaman peserta didik, serta dinamika perubahan yang terjadi di sekolah dan tuntutan masyarakat; dan (h) Menyeluruh, artinya komponen silabus mencakup keseluruhan ranah kompetensi (kognitif, afektif, psikomotor).
1 komentar:
lengkap banget sob
Posting Komentar